Konseling sudah cukup banyak dikenal orang, khususnya dalam dunia psikologi. Saat ini konseling banyak digunakan oleh para profesional konselor dalam rangka membantu individu menyelesaikan masalahnya. Selain itu, dalam dunia pendidikan juga konseling juga diaplikasikan oleh pihak sekolah. Hal ini disebabkan karena konseling dipandang penting dalam membantu siswa menjadi seorang pribadi yang dewasa dan matang.
Konseling muncul dengan didasarkan pada berbagai teori. Banyak teori yang digunakan dalam rangka pelayanan konseling. Winkel (1997) menyatakan bahwa teori konseling adalah suatu konseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses konseling berlangsung; apa yang terjadi selama proses konseling, perubahan yang bagaimana yang dituju, mengapa perubahan itu dapat terjadi, dan apa unsur-unsur yang memegang peranan pokok.
Dewasa ini jumlah teori konseling yang dikemukakan oleh para ahli sudah cukup banyak. Teori-teori konseling tersebut dikemukakan berdasarkan sudut pandang para ahli dan disesuaikan dengan keadaan pada saat ahli tersebut hidup.
Dengan perbedaan isi atau metode dari masing-masing teori tersebut, maka berikut akan disajikan berbagai teori-teori konseling. Teori yang disajikan dalam bagian ini adalah teori-teori konseling yang dipelajari oleh mahasiswa/calon konselor di LPTK, dalam hal ini di Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma, yang nantinya akan dipraktikkan dalam program PPL-BK di sekolah menengah. Teori-teori tersebut adalah:
Trait-Factor Counseling
Pelopor yang paling terkenal dari teori ini adalah Edmund Griffith (E.G.) Williamson yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1900 di Rossville, Illionis, dan meninggal pada tanggal 30 Januari 1979. Teori ini juga menekankan pada pemahaman diri melalui test psikologis dan menerapkan pemahaman tersebut untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh konseli, terutama yang berkaitan dengan pilihan program studi atau bidang pekerjaan. Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berperilaku. Ciri-ciri ini dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah (Winkel, 1997). Ciri-ciri inilah yang akhirnya disebut sebagai factors.
Teori ini bertujuan untuk membantu konseli dalam membuat keputusan atas alternatif pilihan yang berkaitan dengan pekerjaan/jabatan yang diinginkan. Implikasinya dalam dunia pendidikan adalah membantu siswa dalam membuat keputusan atas pilihan jurusan atau program studi yang diharapkan dan dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Jadi, teori ini bertujuan untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi konseli yang termasuk dalam ragam bimbingan karier (Winkel dan Sri Hastuti, 2004:438-439).
Teori ini merupakan directive counseling atau Counselor-Centered Counseling, dimana konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi kebaikan konseli tersebut. Dalam proses wawancara konseling, konselor harus melakukan langkah-langkah yaitu membantu konseli mengumpulkan dan mengolah data tentang diri konseli (data psikologis); data lingkungan hidup yang meliputi data konkret tentang lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan bidang studi yang sedang ditinjau (data sosial). Data dan fakta-fakta tersebut dalam kaitan satu sama lain akan menghasilkan sejumlah alternatif yang kemudian dipertimbangkan pro dan kontranya. Akhirnya dipilih alternatif yang paling masuk akal, paling bijaksana dan realistis karena baik bisa/dapat maupun ingin dipilih; atau mungkin ditemukan alternatif baru yang mengambil unsur-unsur dari berbagai alternatif yang lain. Pengumpulan data psikologis dan fakta sosial sangat bermanfaat untuk dapat menentukan suatu norma atau patokan yang menjadi landasan untuk kelak dapat mengambil keputusan tegas.
Konseling Behavioristik (Behavioristic Counseling)
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling yang pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964) yang juga promotor utama aliran ini. Beberapa tokoh yang mengembangkan aliran ini adalah Dollar dan Miller, Wolpe, Lazarus, Eysenck, Thoresen, Bandura, Goldstein, Yates serta Dustin dan George.
Pendekatan ini menitikberatkan pada perubahan nyata dalam perilaku konseli sebagai hasil dari konseling. Pendekatan ini juga menekankan bahwa hubungan antarpribadi tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan yang memandang hubungan antarpribadi antara konselor dan konseli sebagai komponen utama dan mutlak serta sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang. Keyakinan dasar yang dipegang dalam pendekatan ini adalah bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari suatu proses belajar, maka dapat diubah dengan belajar baru (Winkel dan Sri Hastuti, 2004). Maka, konseling behavioristik memiliki ciri-ciri, antara lain (Latipun, 2001):
· Berfokus pada perilaku yang tampak atau nyata
· Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik/konseling
· Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli.
· Penafsiran objektif atas tujuan terapeutik/konseling.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dalam konseling behavioristik perumusan tujuan secara spesifik lebih penting dibandingkan dengan proses hubungan konseling. Hal ini dikarenakan masalah dan situasi yang dihadapi oleh masing-masing konseli berbeda-beda, sehingga tujuan yang hendak dicapai masing-masing pribadi juga berbeda sesuai dengan masalah dan kondisi yang dihadapi oleh konseli tersebut. Tujuan konseling behavioristik sendiri adalah membantu konseli untuk mengubah perilaku salah suai atau perilaku maladaptif dengan cara mempertahankan dan memperkuat perilaku yang diharapkan, meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat (Corey (2003), Latipun (2001), Wilis (2004)).
Perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam interaksi ini, konseli dihadapkan pada suatu rangsangan (Stimulus/S) dan bereaksi dengan cara tertentu (Response/R). Cara reaksi ini lama kelamaan akan menjadi suatu pola yang sifatnya dinamis sesuai dengan saat di mana konseli berada.
Perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam interaksi ini, konseli dihadapkan pada suatu rangsangan (Stimulus/S) dan bereaksi dengan cara tertentu (Response/R). Cara reaksi ini lama kelamaan akan menjadi suatu pola yang sifatnya dinamis sesuai dengan saat di mana konseli berada.
Konseling Behavioristik tidak dapat dilepaskan dari teori belajar (Behaviorisme) yang telah ada sebelumnya. Tiga konsepsi tentang belajar yang diuraikan oleh tiga tokoh yang berbeda adalah:
1)Belajar Signal menurut Ivan Pavlov
2)Belajar melalui Peneguhan Menurut Skinner
Pada dua konsepsi di atas, reaksi mengikuti rangsangan secara spontan tanpa melalui suatu proses kognitif lebih dahulu. (S → R)
3)Belajar dari Model menurut Bandura
Pada konsepsi ini, ada kemungkinan terjadi sesuatu dalam diri subjek sebelum memberikan reaksi. (S → r (rangsangan kognitif) → R).
Dalam pendekatan Behavioristik dalam konseling, rangkaian S→R dikonsepsikan sebagai rangkaian Antecedent-Behavior-Consequence (A-B-C). Antecedent atau Stimulus adalah kejadian-kejadian yang mendahului Behavior, Consequence atau Reinforcement (peneguhan atau penguatan menurut Skinner) adalah segala efek yang mengikuti atau berlangsung sesudah Behavior. Sedangkan Behavior sama dengan Response. Apabila rangkaian ini diulang-ulang kembali, maka dapat membentuk pola perilaku yang tetap sama.
Dalam pendekatan Behavioristik, selain menaruh perhatian pada perubahan perilaku, ada beberapa pelopor yang juga menaruh perhatian pada reaksi emosional sebagai proses belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah dan takut-takut, yang sering melatarbelakangi rasa tidak tenang serta terancam dan mendasari perilaku manusia. Untuk kasus seperti ini ada dua alternatif prosedur yang dilakukan konselor yaitu, pertama mengubah respon/reaksi terbuka (R) atau perilaku (B) secara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respon/ reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Kedua, mengubah respon/ reaksi tertutup (r) lebih dahulu, lebih-lebih tanggapan pikiran dalam batin seseorang; sebagai akibat respon/reaksi terbuka (R) akan berubah pula, namun tidak secara langsung.
Selain itu, beberapa tokoh pendekatan Behavioristik juga mengembangkan pendekatan baru yakni Pendekatan Kognitif-Behavioristik (Cognitive-Behavioral Approach). Pendekatan ini lebih menekankan peranan dari persepsi, pikiran dan keyakinan yang semuanya bersifat kognitif sebagai komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S→r→R. Alasan dasarnya adalah bahwa manusia dapat mengatur perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri.
Rational-Emotive Therapy (RET)
Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. Beliau lahir pada tahun 1913 di Pittsburgh, Pennsylvania dan dibesarkan di New York. RET merupakan sebuah terapi atau corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku (Winkel, 1997). Menurut Ellis (1994) perilaku seseorang khususnya yang berkaitan dengan emosi, bukan disebabkan secara langsung oleh peristiwa yang dialaminya, melainkan karena cara berpikir atau sistem kepercayaan seseorang (rasional atau irrasional) (Latipun, 2001:). Jadi tujuan dari RET adalah untuk memperbaiki dan mengubah sikap, cara berpikir, persepsi, keyakinan serta pandangan konseli yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri yang optimal (Wilis, 2004).
RET dalam teori-teori konseling dan psikoterapi dikelompokkan sebagai terapi kognitif-behavior, karena terapi ini berasal dari aliran pendekatan kognitif-behavioristik. Maka, RET juga sering disebut juga dengan nama lain seperti Rational Therapy, Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitif Behavior Therapy, Semantic Therapy, dan Rational Behavior Training.
RET dalam teori-teori konseling dan psikoterapi dikelompokkan sebagai terapi kognitif-behavior, karena terapi ini berasal dari aliran pendekatan kognitif-behavioristik. Maka, RET juga sering disebut juga dengan nama lain seperti Rational Therapy, Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitif Behavior Therapy, Semantic Therapy, dan Rational Behavior Training.
Menurut Ellis (1994) ada tiga hal terkait dengan perilaku yang juga menjadi konsep dasar RET atau yang sering disebut sebagai konsep A-B-C, yaitu activating event atau activating experience (A) yang merupakan peristiwa atau pengalaman tertentu yang menjadi pendahulu berupa fakta, peristiwa, atau sikap orang lain. Belief (B) yakni keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa atau pengalaman. Keyakinan manusia pada dasarnya ada dua yaitu keyakinan yang rasional atau masuk akal (rational belief/rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief/iB). Consequence (C) merupakan konsekuensi sebagai akibat atau reaksi individu dalam hubungannya dengan A. Jadi, C pertamakali ditimbulkan oleh B, baik rB ataupun iB terhadap A.
Dalam memberikan pelayanan kepada konseli dengan pendekatan ini, konselor hendaknya berpegang pada konsep dasar di atas dengan menambahkan unsur D (dispute) dan E (Effects). Dispute merupakan usaha yang dilakukan oleh konselor dalam membantu konseli untuk mengubah pikirannya yang irrasional dengan cara mendiskusikan secara terbuka dan terus terang dengan konseli. Effects adalah hasil-hasil yang diperoleh dari proses diskusi bersama konseli, hasil tersebut (seharusnya/harapannya) berupa pikiran yang lebih rasional dan perasaan yang lebih wajar serta perilaku yang lebih tepat dan sesuai.
Konseling Eklektik
Konseling eklektik (Eclectic Counseling) mulai dikembangkan sejak tahun 1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak konseling ini. Corak konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Dengan kata lain, konseling eklektik merupakan pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori atau doktrin yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat dalam rangka membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Hal ini mendasarkan pada pandangan bahwa semua teori konseling yang ada pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atau terkadang konselor merasakan adanya pembatasan apabila hanya menggunakan satu teori atau pendekatan saja dalam proses konseling. Latipun (2001) mengemukakan hal yang sama, yakni bahwa pendekatan konseling eklektik merupakan sebuah pendekatan konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Sebuah teori itu memiliki keterbatasan konsep, prosedur dan teknik, serta kelebihan dan kelemahan. Karena itu pendekatan konseling eklektik mempelajari teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
Dengan pendekatan ini, konselor dapat menggunakan berbagai macam variasi, tindakan, pikiran sesuai dengan kebutuhan dan ciri khas masalah yang dihadapi oleh konseli. Meskipun demikian, konselor tetap harus berpegang pada pola eklektik, menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta memilih manakah yang paling tepat dan sesuai dari berbagai prosedur dan tehnik tersebut. Hal ini sesuai seperti yang diungkapkan oleh Prochaska (1984) bahwa konseling eklektik merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan masalah-masalah pribadi dengan menerapkan prinsip-prinsip khusus yang ditetapkan berdasarkan masalah khusus yang akan dipecahkan (Latipun, 2001)
Berkaitan dengan pendekatan eklektik ini, Winkel (1997) mengusulkan suatu pola pendekatan yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di institusi pendidikan. Pola tersebut adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu kasus yang penyelesaiannya terutama terdiri atas pilihan di antara beberapa alternatif (a choice case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara konseling untuk membuat suatu pilihan (Decision Making Interview). Dalam pola ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membantu konseli adalah peninjauan pro dan kontra dari alternatif oleh konseli, kemudian dinilai dari sudut pandang “Bisa dipilih?; mungkin untuk dipilih?” (Possible?), selanjutnya “Ingin dipilih?” (Desirable?), dan yang terakhir adalah “Kalau dipilih, akan membawa hasil yang diharapkan?” (Feasible)
Pola yang kedua adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu kasus yang penyelesaiannya terutama menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya (a change case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara konseling untuk penyesuaian diri (Interview for Adjustment). Untuk kasus ini, konselor membantu konseli untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang serta memikirkan sikap dan tindakan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar